Kutengokan wajahku keluar jendela, membuat angin menerpa wajah serta rambutku. Angin musim panas mulai kehilangan panasnya, tanda musim telah berganti. Musim gugur di Nice,Perancis  tahun ini menjadi musim gugur keduaku setelah tiba di kota ini. Nice adalah kota pinggiran Perancis  yang indah. Well indah dan tenang sebenarnya, setidaknya untuk seseorang seperti aku. Namaku Kyrie tapi keluargaku memanggilku kiel. Kebangsaan Perancis  meski darah Indonesia juga mengalir dalam tubuhku. Aku tinggal di Perancis sejak 3 tahun yang lalu, kupikir saat itu waktuku telah terhenti. Cuaca seperti ini membuatku menginggat kejadian 3 tahun lalu.

****

Ada sesuatu yang aneh dengan tubuhku. Tubuhku memang lemah sejak dulu tapi ini ada yang salah, ketika bangun aku sudah berada di bangsal rumah sakit. Padahal seingatku aku masih berada di sekolah. Ini ketiga kalinya aku bangun di rumah sakit tanpa seingatku. Mom memandangku dengan kuatir dan bertanya

“Are you alright darling?” Tanya beliau.

“Yeah, don’t worry. But I don’t feel good.” Jawabku. “Hi mom, there is something wrong with me, right?” tanyaku. Mom terlihat agak pucat dan berkata, “I don’t know either honey. But everything will be O.K.” Mom tersenyum kecut dan menyentuh pipiku mencoba menenangkanku. Kulihat sekelilingku dan menyadari dad tidak ada, mungkin dad masih bersama dengan dokter, pikirku. Dad masuk ruangan dengan dokter,wajahnya pucat, sekilas matanya bertemu mataku, terlihat keletihan di matanya. Kemudian dokter duduk, Dad berdiri di samping Mom dan memegang tangan Mom. Ada sesuatu yang gak beres pikirku.

Dokter mulai dengan basa-basi yang biasa, bagaimana keadaanmu, apakah kau masih merasa tidak sehat, apakah kau mendapat keluhan yang lain, dan bla bla bla. Aku lelah dengan semua itu, kemudian kulihat mata dad.

“I want the truth Dad.” Kataku tenang. Dad and mom telihat agak kaget, tapi aku sudah lelah dengan basa basi. Aku ingin jawabanya. Dokter melihat dad dan kulihat dad mengangguk. Dad tidak suka berbohong padaku, meskipun kadang kenyataan menyakitkan tapi ia pikir itulah yang terbaik.

“Baiklah, berat untuk mengatakanya tapi menurut hasil pemeriksaan kau divonis menderita anemia aplastik. Anemia ini termasuk jarang di temukan namun bukan berarti anemia ini tidak bisa di sembuhkan. Dengan terapi dan trasfusi kau akan tetap bisa menjalani hari hari biasa.” Dokter masih menjelaskan panjang lebar. Tapi aku sama sekali tidak mendengarkannya lagi, kepalaku kosong, serasa waktu dan hatiku telah terhenti. Kutenggok sesaat kearah mom, beliau menangis dan bersandar di dada dad, dad berusaha menenangkannya. Ah I know, yang bersedih bukan hanya aku tapi banyak orang di sisiku jadi untuk mereka aku tidah boleh bersedih dan berkecil hati. Akan kukubur semua perasaan itu, toh jika memang akhirnya begini tak ada yang bisa kulakukan.

“I’m alright.” Kulihat Mom dan Dad dengan tersenyum tulus. Mom langsung memelukku erat. We will find the way bisik Mom.

“See? She is a strong girl. Nothing can bring her down.” Dad berkata lirih. Setelah itu karena terbatasnya peralatan di Indonesia Dad membawaku ke paris, perancis. Di sana kami tinggal di rumah grand-mère. Ketika melihatku granny langsung memelukku dan menangis. Je vais bien bisikku. Aku mendapat first class treatment. Dengan alat-alat yang memadai serta dokter yang ahli keadaanku tetap stabil. Setahun di Paris yang ramai membuatku hatiku lelah, semakin banyak orang mengasihaniku semakin membuatku merasa letih. Aku ingin pergi ke tempat yang lebih tenang.

Atas permintaanku, Dad membawaku ke Nice. Well, sebenarnya aku tak pernah menangis lagi sejak mendapat berita bahwa aku sakit, aku sudah lelah menagis. Namun semua mulai berubah setelah aku bertemu dengannya. Kami bertemu secara kebetulan saat ia menjenguk temannya. Dimulai dari percakapan biasa sampai kami menjadi teman dekat. Ia menceritakan banyak hal tentang Perancis, ia juga berjanji mengajakku jalan jalan jika keadaanku membaik.

Tapi akankah hal itu terjadi? Aku juga tak tahu, aku telah kehilangan semangat hidupku sejak 2 tahun lalu. Setiap kali aku bercerita tentang penyakitku dengan tak acuh ia selalu memandangku heran, aku hanya mengacuhkannya, sampai suatu saat ia bertanya

“Why don’t you cry? “ Tanyanya. Dengan kaget aku menjawab

”There is nothing to cry about.” Kataku singkat sambil memalingkan muka. Tiba tiba ia memelukku erat, aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Why don’t you cry? bisiknya lirih. Aku tersentak, pertahananku mulai hancur. Perasaan yang dulu kukubur kini mulai merembes keluar.

“Because if I cry, everything going to worse. It will only bring pain to mom and dad. I want to stay strong.” aku membenamkan wajahku di dadanya. Air mata mulai membasahi mataku. That’s not the answer, tears never break down someone. Tears made someone relieve their pain in the heart, so you shouldn’t keep them from falling bisiknya lirih. Kemudian aku menagis di dadanya. Kubiarkan air mata yang selama ini kutahan meluapkan perasaanku. Ia mendengarkan kesedihanku dengan tenang hingga selesai kemudian ia mengecup keningku seraya berkata it’s alright now, It’s time for you to move forward. You should keep optimist, Your parent do their best for you, so you should keep your spirit alive and I will there for you. Aku tersenyum mendengarnya.

****

Sejak saat itu dia selalu mendukungku untuk terus berjuang. Kata katanya menjadi pemicu untukku agar terus bersemangat serta optimis untuk tetap hidup dan mencari jawaban atas hidupku. Aku tak tau apakah ini jalan yang benar atau salah tapi aku akan terus mencari jawabannya. Aku akan tetap berusaha dan berusaha untuk tetap hidup sampai tuhan memberikanku jawaban.  Meskipun kutahu terkadang jawaban akhir bukan harus sesuatu hal yang bahagia.

Aku akan terus menyimpan semangat itu didalam hati dan takkan kubiarkan padam apapun alasannya. Kadang kupikir aku dulu bodoh sekali karena pernah menyerah dan menunggu seseorang untuk membangunkanku dari mimpi buruk. Tapi setelah kupikir lagi itu bukan hal yang terlalu buruk toh pada akhirnya aku dapat bertemu dengannya. Dia yang selalu mendukungku untuk terus berjuang.

****

Pintu kamar terbuka, kemudian ku toleh untuk mencari tahu siapa yang datang. Dia masuk sambil memegang buket mawar merah ditangannya.

“Hi, I am coming, are you ready to leave?” Dia bertanya padaku.

“Nee, but I haven’t finished packing.” Jawabku. Lalu kulihat bunga mawar di tangannya. ”What’s that for?” Aku bertanya penasaran.

“This? It’s your present for leaving the hospital.” Katanya sambil menyerahkan buket itu kepadaku. ”I know you loved it.” Sambungnya sambil mengambil tasku. Setelah ini kami berencana untuk jalan jalan mengunjungi berbagai tempat di Perancis. Janji yang dulu tak kuketahui apakah akan terjadi, kini telah berada di depan mataku. Aku tau, selama kami bersama kami akan terus berjuang dan selalu melangkah kedepan.

*Fin*